He Made Me Cough

by Sarah Audrey Christie

Lagi-lagi, aku harus menceritakan tentang Allah... Dan perjanjian-perjanjian rahasia yang kulakukan denganNya.

Tapi ini bukan sebuah cerita yang serius, ini kisah yang sangat menghibur, dan malah sedikit membuatku tertawa. Well, we can say that, God was teasing me. But, I was the one who asked for it. He was just showing His agreement.

The story took place when I was sitting in my cell group meeting and thinking, while others were sharing their thoughts on this particular topic delivered by one of our seniors... Aku sedang berpikir apa yang harus aku sampaikan, dan apakah aku harus menyampaikannya. Apa yang harus kulakukan, dan apakah aku perlu melakukannya. Jujur, aku sangat berhati-hati dalam melakukan atau mengatakan sesuatu. Aku hanya ingin mengatakan apa yang perlu kukatakan tanpa menceritakannya secara berlebihan (aku punya tendensi itu), karena aku ingin saudara-saudaraku di grup ini dapat memperoleh pesan yang tepat, yang memang mereka butuhkan, bukan cerita panjang lebar yang malah akan membuat mereka bingung (Aku mungkin juga punya tendensi itu).

Aku punya sebuah pemikiran yang berlari-lari di dalam otakku. Sebuah pemikiran, yang mungkin saja jika kubagikan, dapat memberkati mereka yang mendengarnya. Aku ingin sekali menyampaikannya, tapi aku tidak yakin, karena hari itu bukan giliranku untuk memimpin sharing. Dan aku tak mau mengambil ruang dan waktu seniorku, out of my respect to her. Juga ada ketakutan tersendiri di dalam hatiku, jika aku membagikan pemikiran manusiaku, yang bukan berasal dari Allah, aku akan membanggakan diri karena itu. Tapi aku bimbang dan terus menerus memikirkannya, apakah benar jika aku tidak mengatakannya, apakah sesuai dengan kehendak Allah? Lalu aku pun bertanya kepada Tuhan di dalam hati, 'Tuhan, bagaimana ini, apakah pemikiran di dalam kepalaku ini berasal dari Engkau? Haruskah aku membicarakannya? Tapi bagaimana aku tahu jawabanMu...? Ah begini saja, jika Engkau menghendaki aku untuk melakukan atau mengatakan apa yang terpikirkan di dalam kepalaku, Kau akan membuatku terbatuk-batuk (seolah-olah tersedak)'. What? Ya aku tak tahu mengapa dalam waktu yang sekejap aku membuat perjanjian seperti itu dengan Tuhan. Hanya itu yang bisa terpikirkan dalam hitungan detik saat berbagai pertimbangan saling berlomba di dalam otakku. Mungkin karena aku terlalu sering menonton film khas Amerika, di mana kala seseorang berusaha untuk memberitahu sesuatu kepadamu, ia akan menyenggolmu dan membuatmu tersedak; atau menendang kakimu, salah satu dari itu.

Aku hanya benar-benar ingin melakukan kehendakNya dan bukan keinginanku sendiri. Aku takut jika aku melakukan keinginanku sendiri, dan berhasil, then I will take credits for that. And I don't want to do that.

Akhirnya, sepanjang acara cell group itu, aku tidak tersedak sama sekali... Well, eventually, aku pun lupa akan perjanjian itu. Sehingga aku pun tidak jadi menyampaikan apa yang tadinya dengan penuh ambisi ingin kusampaikan. Thank God for holding me back. Kalau aku ingat-ingat, bahkan ketika kami makan malam pun, aku tak tersedak sama sekali. Itu sesuatu yang jarang terjadi. Satu dua kali, cabe bisa membuatku tersedak. Tulang ayam bisa membuatku tersedak. Tapi anehnya, aku tidak tersedak, bahkan hingga acara berakhir dan kami bergegas pulang.

Sewaktu aku pulang, aku mampir di tempat salah satu teman cell group dan duduk sejenak sembari mengumpulkan tenaga yang tersisa untuk mengendarai motor dan berjalan pulang karena hari sudah larut malam. Lalu sebuah pemikiran muncul di kepalaku, yaitu aku harus mendoakan dia. Pada saat ini Aku sudah lupa akan perjanjianku dengan Tuhan beberapa jam sebelumnya. Tapi tiba-tiba, waktu aku sedang meminum segelas air mineral, AKU TERSEDAK! Saat itu aku langsung teringat pada persetujuan kecilku dengan Allah, bahwa jika Ia ingin aku menyampaikan atau melakukan sesuatu yang muncul dalam pikiranku, ia akan membuatku tersedak. Dan aku pun tersenyum lebar. Temanku sudah pasti tak tahu apa alasan di balik senyum simpulku yang benar-benar bermakna. Hanya aku dan Allah yang tahu. Aku pun mengajaknya berdoa, dan aku pulang dengan tersenyum pada Bapaku yang dahsyat, yang menjawab permintaan konyolku dengan sabar. Dan yang meyakinkan aku, dengan cara yang aku minta, bahwa aku sedang berjalan dalam kehendakNya.

ps: aku harus menulis ini, so I won't forget this moment, ever! Thank God for a God like You!