Archive for December 2012

Aku dan Allah.

Aku bodoh, tapi Allah berhikmat
Aku bukan apa-apa, tapi Allah adalah segala sesuatu
Aku lemah, tapi Allah berkuasa
Aku kanak-kanak, tapi Allah dewasa dan bijaksana
Aku sombong, tapi Allah rendah hati
Aku membenci, tapi Allah mengasihi
Aku kecil dan tak berdaya, tapi kebesaran Allah dahsyat tak tertandingi
Aku berdosa, tapi darahNya menebus segala pelanggaran.
Aku seharusnya dihukum, tapi Allah memastikan itu tidak terjadi.
Jadi jika Dia di dalam aku, dan aku di dalam Dia,
aku bukannya aku lagi, tapi Allah yang ada dalamku.

He Made Me Cough

Lagi-lagi, aku harus menceritakan tentang Allah... Dan perjanjian-perjanjian rahasia yang kulakukan denganNya.

Tapi ini bukan sebuah cerita yang serius, ini kisah yang sangat menghibur, dan malah sedikit membuatku tertawa. Well, we can say that, God was teasing me. But, I was the one who asked for it. He was just showing His agreement.

The story took place when I was sitting in my cell group meeting and thinking, while others were sharing their thoughts on this particular topic delivered by one of our seniors... Aku sedang berpikir apa yang harus aku sampaikan, dan apakah aku harus menyampaikannya. Apa yang harus kulakukan, dan apakah aku perlu melakukannya. Jujur, aku sangat berhati-hati dalam melakukan atau mengatakan sesuatu. Aku hanya ingin mengatakan apa yang perlu kukatakan tanpa menceritakannya secara berlebihan (aku punya tendensi itu), karena aku ingin saudara-saudaraku di grup ini dapat memperoleh pesan yang tepat, yang memang mereka butuhkan, bukan cerita panjang lebar yang malah akan membuat mereka bingung (Aku mungkin juga punya tendensi itu).

Aku punya sebuah pemikiran yang berlari-lari di dalam otakku. Sebuah pemikiran, yang mungkin saja jika kubagikan, dapat memberkati mereka yang mendengarnya. Aku ingin sekali menyampaikannya, tapi aku tidak yakin, karena hari itu bukan giliranku untuk memimpin sharing. Dan aku tak mau mengambil ruang dan waktu seniorku, out of my respect to her. Juga ada ketakutan tersendiri di dalam hatiku, jika aku membagikan pemikiran manusiaku, yang bukan berasal dari Allah, aku akan membanggakan diri karena itu. Tapi aku bimbang dan terus menerus memikirkannya, apakah benar jika aku tidak mengatakannya, apakah sesuai dengan kehendak Allah? Lalu aku pun bertanya kepada Tuhan di dalam hati, 'Tuhan, bagaimana ini, apakah pemikiran di dalam kepalaku ini berasal dari Engkau? Haruskah aku membicarakannya? Tapi bagaimana aku tahu jawabanMu...? Ah begini saja, jika Engkau menghendaki aku untuk melakukan atau mengatakan apa yang terpikirkan di dalam kepalaku, Kau akan membuatku terbatuk-batuk (seolah-olah tersedak)'. What? Ya aku tak tahu mengapa dalam waktu yang sekejap aku membuat perjanjian seperti itu dengan Tuhan. Hanya itu yang bisa terpikirkan dalam hitungan detik saat berbagai pertimbangan saling berlomba di dalam otakku. Mungkin karena aku terlalu sering menonton film khas Amerika, di mana kala seseorang berusaha untuk memberitahu sesuatu kepadamu, ia akan menyenggolmu dan membuatmu tersedak; atau menendang kakimu, salah satu dari itu.

Aku hanya benar-benar ingin melakukan kehendakNya dan bukan keinginanku sendiri. Aku takut jika aku melakukan keinginanku sendiri, dan berhasil, then I will take credits for that. And I don't want to do that.

Akhirnya, sepanjang acara cell group itu, aku tidak tersedak sama sekali... Well, eventually, aku pun lupa akan perjanjian itu. Sehingga aku pun tidak jadi menyampaikan apa yang tadinya dengan penuh ambisi ingin kusampaikan. Thank God for holding me back. Kalau aku ingat-ingat, bahkan ketika kami makan malam pun, aku tak tersedak sama sekali. Itu sesuatu yang jarang terjadi. Satu dua kali, cabe bisa membuatku tersedak. Tulang ayam bisa membuatku tersedak. Tapi anehnya, aku tidak tersedak, bahkan hingga acara berakhir dan kami bergegas pulang.

Sewaktu aku pulang, aku mampir di tempat salah satu teman cell group dan duduk sejenak sembari mengumpulkan tenaga yang tersisa untuk mengendarai motor dan berjalan pulang karena hari sudah larut malam. Lalu sebuah pemikiran muncul di kepalaku, yaitu aku harus mendoakan dia. Pada saat ini Aku sudah lupa akan perjanjianku dengan Tuhan beberapa jam sebelumnya. Tapi tiba-tiba, waktu aku sedang meminum segelas air mineral, AKU TERSEDAK! Saat itu aku langsung teringat pada persetujuan kecilku dengan Allah, bahwa jika Ia ingin aku menyampaikan atau melakukan sesuatu yang muncul dalam pikiranku, ia akan membuatku tersedak. Dan aku pun tersenyum lebar. Temanku sudah pasti tak tahu apa alasan di balik senyum simpulku yang benar-benar bermakna. Hanya aku dan Allah yang tahu. Aku pun mengajaknya berdoa, dan aku pulang dengan tersenyum pada Bapaku yang dahsyat, yang menjawab permintaan konyolku dengan sabar. Dan yang meyakinkan aku, dengan cara yang aku minta, bahwa aku sedang berjalan dalam kehendakNya.

ps: aku harus menulis ini, so I won't forget this moment, ever! Thank God for a God like You!

Not A Girl, Not Yet A Woman.


Frase itu terdengar nyaring di telinga saat usia saya mulai beranjak ke angka dua puluhan. Bahkan Britney Spears, idola remaja itu pun menyanyikannya, seolah-olah ini jeritan hati semua gadis di seluruh dunia. Dan saya yakin, kamu juga pernah mendengarnya. Frase ini diucapkan untuk menggambarkan posisi kita pada tangga kehidupan. Ya, syukurlah, kita sudah berhasil meninggalkan masa remaja yang cukup menguras energi, tetapi sayangnya, kita juga tak bisa dibilang sudah benar-benar dewasa. Dan, berada di 'tengah-tengah' seperti ini selalu menjadi hal yang menyebalkan, bukan. Meskipun, terkadang juga sebuah 'keuntungan' tersendiri.

Saat sebuah masalah terjadi misalnya, kita tak harus menghadapi semuanya sendirian. Setidaknya papa dan mama akan selalu bersama-sama dengan kita, every step of the way. Dan meskipun masalah itu terjadi sebagian karena kesalahan kita, mereka akan berusaha memaklumi. Ya, kita mendapatkan banyak sekali kata 'maklum' pada masa-masa ini. 'Maklum' melindungi kita dari kewajiban untuk bertanggung jawab secara penuh terhadap masalah-masalah yang kita hadapi. Intinya, pada usia-usiamu, kesalahan-kesalahan akan dimengerti, kegagalan dianggap manusiawi .  Menurut saya, itu hal yang cukup menenangkan hati. Walau bukan berarti kita lalu berlomba-lomba untuk melakukan kesalahan. Karena akan tiba masanya, di mana kita harus bertindak untuk diri kita sendiri. We have to speak for our own. Oleh sebab itu, kalau hari ini kita tak harus menanggung sendirian semua masalah yang seharusnya kita hadapi, don't get too excited, itu hanya berarti kita harus lebih siap menghadapinya nanti.

Namun, sisi yang paling tidak menyenangkan dari berada di 'tengah-tengah', ketika kita mulai ingin disebut wanita –daripada gadis– adalah terlalu banyaknya pertanyaan yang muncul di dalam otak kita. Terutama pertanyaan soal jalan yang akan kita tempuh, arah yang kita ambil, dan akan menjadi wanita seperti apakah kita nanti. Semua pertanyaan soal masa depan itu biasanya muncul bersamaan, dan semuanya seolah-olah menuntut jawaban dengan segera. Lagipula ini bukan pertanyaan-pertanyaan kanak-kanak soal cita-cita, yang jawabannya semudah: menjadi dokter, atau dosen, atau presiden. Ini adalah pertanyaan tentang hidup. Dan hidup seperti apa yang ingin kita miliki. Itu sebabnya, lebih sering daripada jarang, kamu jadi bingung dan frustasi dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Para psikolog sering menyebut fase peralihan ini sebagai 'masa pencarian identitas diri'. Saya lebih senang menyebutnya 'sebuah petualangan hidup yang mendebarkan!'

Tetapi tentu saja dalam setiap petualangan, kamu butuh peta dan kompas agar kamu tak tersesat atau salah memilih jalan. Supaya perjalananmu tetap aman sampai ke tujuan, tidak menjadi sebuah usaha penyelamatan diri dari tebing yang curam. Nah, anggap saja, beberapa langkah berikut ini, adalah peta dan kompasmu menuju masa depan. Beberapa langkah sederhana yang dapat membantumu melalui fase penuh pertanyaan ini dengan selamat.

1. Tidak Usah Berusaha Menjawab Semuanya Sekarang.

Tidak semua pertanyaan harus dijawab saat ini juga. Malah kebanyakan, pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kehidupan, baru terjawab beberapa tahun kemudian, atau malah berpuluh-puluh tahun setelah kamu menanyakannya kepada Yang Kuasa. Yang terpenting saat ini, justru bukan menjawab semua pertanyaan, tetapi mengumpulkannya. Nanti, dalam perjalanan hidupmu, kamu pasti akan menemukan jawaban demi jawaban. Ingat waktu kita kecil, ada permainan mencocokkan gambar yang sangat mengasyikkan. Kita menarik garis dari kolom A ke kolom B, untuk mencocokkan gambar di kolom A dengan gambar di kolom B. Sendok dan garpu, amplop dan perangko, piring dan gelas. Seperti itulah kehidupan. Seiring dengan waktu, kamu akan menarik garis-garis, dan kamu akan menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanmu, yang tidak selalu datang dalam urutan yang sama. Kadang pertanyaan yang baru saja muncul dalam benakmu terjawab lebih cepat daripada pertanyaan yang sudah lusuh dalam tumpukan pertanyaan lain di dalam hatimu. Tapi pada akhirnya, kita pasti akan menemukan jawaban-jawaban yang 'cocok'.

Nah, sekarang, yang lebih penting adalah bagaimana kamu benar-benar menjalani kehidupanmu saat ini dengan maksimal. Lakukanlah yang terbaik dalam apapun yang sudah dipercayakan kepadamu, apakah itu kuliah, keluarga, karir, atau cinta. Itulah jawaban yang boleh kamu ketahui untuk saat ini. Kamu punya keluarga yang menyayangimu, karir yang kamu sukai, dan cinta atau persahabatan orang-orang di sekitarmu. Pergunakanlah itu menjadi kekuatan untuk kamu melangkah ke depan. Dan menemukan jawaban-jawaban lainnya.

2. Cari Lebih Dalam.

Meski kamu tak harus menjawab semua pertanyaan sekarang, tidak berarti lalu kamu puas dengan kehidupan, dan memilih diam di depan televisi sambil makan pop corn. Sama sekali tidak. Terobosan-terobosan dalam hidup tak akan datang kepada penonton, non. Kesempatan-kesempatan emas hanya akan mendekat ke mereka yang berusaha meraihnya.

So, justru dalam masa-masa ini, carilah lebih dalam. Berjalanlah lebih jauh, dalam petualanganmu mencari identitas diri. Jangan puas dengan apa yang kamu lihat di depan. Dan jangan puas dengan apa yang kamu lihat di kaca, atau malah menjadi terintimidasi karenanya. Di dalam kamu, ada potensi yang begitu besar, yang masih belum tergali, yang jauh lebih bernilai dari apa yang kasat mata. Dan saat kamu menemukannya, mengembangkannya, memaksimalkannya, kamu benar-benar akan meraih kehidupan yang kamu impikan, atau malah yang belum terpikirkan olehmu. So, dig deeper, my friend!

3. Menjadi Ibu Untuk Sesuatu Yang Lebih Besar.

Ini clue-nya, kalau kamu bingung. Yang pasti, kamu tidak semata-mata ditakdirkan menjadi ibu dari anak-anakmu. Meskipun, itu adalah tugas utama seorang wanita, dan juga yang paling mulia (jadi kamu harus bangga menjadi seorang ibu ya). Siapa tak ingin berjumpa dengan seorang pangeran berkuda putih dan menikahi dia, lalu melahirkan putra-putri dan hidup bahagia selamanya. Bukankah itu adalah impian setiap wanita? Atau sekalipun kamu tak pernah mengimpikannya, sekali waktu, kamu pasti pernah memikirkannya, kan.

Namun bukan itu saja takdirmu. Kamu direncanakan untuk menjadi lebih daripada itu. Dan percaya tidak percaya, kebahagiaan yang sesungguhnya, adalah ketika kamu dapat membagi kebahagiaan itu pada orang lain. Dan jika kamu bertanya-tanya bagaimana caranya membagi kebahagiaan itu, well, jawabannya sederhana. Jadilah 'ibu' bagi banyak hal yang dibutuhkan oleh bangsa ini; Ibu bagi pelestarian budaya. Ibu bagi kehidupan berpolitik yang bersih dan kondusif. Ibu bagi perubahan. Ibu bagi pemerintahan yang adil dan benar. Ibu bagi peningkatan kualitas pendidikan masyarakat. Ibu bagi kesehatan ekonomi massa. Ibu bagi kesejahteraan bangsa. Ibu, bagi generasi-generasi yang akan datang.

Kamu siap? Sebuah kehidupan yang besar menunggumu! Jadi saatnya kamu menoleh ke kiri dan ke kanan, ke segala arah yang tak pernah kamu lihat sebelumnya, sambil mencari, adakah di sekitarmu sebuah kehidupan yang membutuhkan seorang 'ibu'? Dan mulailah lakukan sesuatu.

4. Berdampak, Bukan Populer.

Memang sulit untuk membedakan, apakah kamu ingin menjadi orang yang berdampak, atau orang yang populer. Ada garis tipis yang hampir tak kelihatan, di antara berdampak dan populer. Tapi mari kita menggunakan teori 'belum tentu'. Populer, belum tentu berdampak. Tetapi menjadi orang yang berdampak, tentu akan membawa popularitas yang baik dengan sendirinya.

Artinya, jangan mencari kehidupan yang populer, karena pada akhirnya kamu tak akan menemukan apa-apa di ujung perjalanan, selain popularitas yang menurun ketika waktumu senja. Tetapi carilah dan capailah kehidupan yang berdampak. Yang punya pengaruh bagi mereka yang ada di sekitarmu, dan yang membangun mereka menjadi orang yang lebih baik. Maka niscaya, kamu akan bertumbuh menjadi wanita-wanita dewasa yang dapat menjadi panutan untuk jutaan generasi yang akan datang.

Jadi tidak ada yang salah dengan demikian banyaknya pertanyaan yang melingkupimu saat ini. Kemasi pertanyaanmu dan masukkan dalam kapsul waktu. Biarkan hidup maksimalmu yang menjawabnya. Selamat berpetualang, wanita-wanita muda yang hebat!


© 2013. Sarah A. Christie. Powered by Blogger.